15 Juni 2010

Cerita ini kelanjutan dari cerita saya sebelumnya. Saya rangkum dari catatan kecil di blog saya. Catatan tentang pengalaman di hari Jum’at di negeri Formosa.
Dua bulan setelah bergabung dengan kompasiana, hanya dua cerita yang saya tulis. Sebuah angka yang sedikit. Mudah-mudahan akan muncul ide tulisan lainnya setelah tulisan ini.


“Ada apa dengan hari Jum’at?” Pernyataan ini mungkin muncul di benak teman-teman kompasiana, termasuk saya sendiri.
“Jum’at adalah hari yang berkah” begitu ucapan salah seorang kawan pada suatu waktu.

Ucapan itu mungkin berkenaan dengan mudahnya kami membeli makanan halal. Tapi bagi saya lebih dari segi makanan halal.  Kita dapat berjumpa dengan saudara-saudara Muslim lainnya dari Indonesia dan dari berbagai belahan dunia. Terciptanya suasana keakraban yang begitu kental, terikatnya tali silaturrahmi antar sesama umat muslim dan terjalinnya komunikasi antar sesama umat muslim di Taiwan, baik dari penduduk asli Taiwan maupun dengan kaum pendatang lainnya serta saling berbagi informasi dengan kawan-kawan mahasiswa Indonesia.

Hal-hal Itulah yang membuat hari Jum’at makin bermakna dan semakin berkah.
Bagi umat muslim, hari Jum’at adalah hari diwajibkan untuk ibadah shalat Jum’at terutama bagi kaum laki-laki.  Cerita di hari Jum’at di Aceh dengan Taiwan sangat berbeda. Aceh adalah sebuah propinsi di Indonesia dimana tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. 

Salah satu perbedaanya adalah letak Mesjid. Di Aceh, kita dengan mudah mendapatkan mesjid. Tapi berbanding terbalik dengan di Taiwan. Jumlah mesjid di Taiwan bisa dihitung dengan jari, tidak lebih dari lima buah mesjid dan lokasinya sangat jauh antara satu mesjid dengan mesjid lainnya. Beruntung kalau tinggal di ibukota Taiwan, Taipei, disana ada dua mesjid.

Kami (rombongan asal Aceh) ditempatkan di satu Universitas yang sama di kota Hsinchu. Setiap hari Jum’at, biasanya kami pergi ke kota Chungli, karena letaknya berdekatan dengan kota Hsinchu. Waktu yang kami tempuh untuk mencapai mesjid sekitar satu setengah jam perjalanan.  Dimulai dengan naik bis dari kampus ke Kota Hsinchu sekitar 25 menit. Dilanjutkan dengan perjalanan kereta api dari Kota Hsinchu ke kota Chungli selama 30 menit.
Setibanya di Chungli, kami harus naik bis lagi untuk menuju lokasi mesjid. Perjalanan memakan waktu 25 menit. Total Ongkos pulang pergi dari kampus ke Mesjid lebih kurang 160 NT (Rp 48.000, 1 NT = Rp 300).  Mesjidnya terletak di salah satu pasar tradisional di kota Chungli, “Longgang” begitu orang Taiwan menyebutnya.

Kebanyakan jama’ah sahalat Jum’at berasal dari Indonesia (dari komunitas mahasiswa dan tenaga kerja), India, Iran, Pakistan, Afrika dan Taiwan. Bahasa penyampaian khatib shalat jum’at adalah bahasa Mandarin, dan bagi saya tidak menjadi persoalan..:)

Biasanya kami sebelum Jum’at, kami terlebih dahulu makan siang di salah satu warung nasi “halal” milik salah seorang warga muslim Taiwan. Menu ditawarkan ada dua: nasi ayam gulai dan nasi daging sapi gulai. Alhamduliilah, cukup untuk mengganjal perut kami yang dari tadi pagi belum makan…:)

Setelah selesai shalat jum’at kami biasanya membeli berbagai kebutuhan perut yang di jual di areal perkarangan Mesjid. Penjualnya adalah warga muslim Taiwan sekitar Mesjid,  dari daging ayam, bakpau isi sayur daging, kue khas Taiwan, Nasi goreng ayam khas Taiwan  dan banyak lainnya ditawarkan. Harga-harganya cukup menjangkau untuk ukuran kantong mahasiswa.

Rutinitas ekonomi (transaksi jual beli) setelah selesai Jum’at juga dilakukan di mesjid-mesjid lainnya di kota Taiwan dengan cara dan menu berbeda pula.
Hidup di Taiwan memang harus banyak bersabar. Dengan berbagai kendala yang dihadapi, tidak menyulitkan kami untuk mencapai lokasi. Karena akses sistem transportasi di Taiwan sangat mudah. Dari sarana jalan yang baik dan banyaknya pilihan untuk melakukan perjalanan. Lancar, tepat waktu dan tidak macet.

Kondisi Taiwan saat ini dengan yang dulu, memiliki cerita panjang. Taiwan adalah sebuah (negara) yang mengalamai kemajuan teknologi yang sangat pesat. Dulunya berbasis agrararis, berpindah ke basis Industri mandiri. Sempat mengalami ketegangan dengan induknya (China), lambat laun komunikasi saat ini mulai terjalin akrab meskipun dengan perantaraan negeri Paman Sam.

Berkat kerja keras dan usaha sungguh-sungguh, Taiwan sedikit demi sedikit tumbuh dan berkembang menjadi Macan Asia dan disegani oleh banyak negara lain di dunia.

Semoga bangsa Indonesia bisa meniru Taiwan dalam hal sikap kerja keras dan usaha-usaha sungguh untuk bangkit dan maju. Banyak hal yang bisa kita bagi, salah satunya dengan cerita ini.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Tanggapan Anda

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!